![]() |
Gambar: Ilustrasi |
OPINI, marjinnews.com - Meski belum benar-benar resmi dikumandangkan, antusiasme masyarakat Manggarai menyongsong Pilkada Serentak 2020 sudah mulai bermunculan seiring dengan makin kencangnya isu tentang sosok-sosok paling kompeten dalam memimpin kabupaten tersebut lima tahun ke depan.
Gelombang wacana tentang beberapa isu krusial belakangan ini mewarnai rupa dunia maya dengan berbagai macam kemasan. Wacana-wacana tersebut hampir luput dan bahkan jauh dari harapan tentang kriteria pemimpin semacam apa yang layak dijadikan tulang punggung pembangunan Manggarai bukan hanya infrastruktur atau kemajuan ekonomi tetapi juga sumber daya manusianya.
Sejauh ini berdasarkan pengamatan penulis, wacana yang berkembang masih hanya seputar like dan dislike. Padahal untuk memajukan sebuah daerah itu diperlukan sebuah konsep dan membutuhkan orang dengan gagasan besar. Bukan hanya dengan retorika tidak bermakna yang berujung pada kondisi Manggarai yang itu-itu saja sejak dahulu kala.
Sialnya, masyarakat dunia maya Manggarai masih saja berkutat dengan isu-isu yang menghabiskan banyak energi dan minim solusi. Masukan-masukan bernilai konstruktif hampir dapat dimentahkan begitu saja ibarat sedang memukul angin, tidak menjangkau akar persoalan.
Oleh karena itu, penulis mencoba menawarkan sedikit gambaran tentang salah satu solusi dari fenomena tersebut. Penulis hanya akan melihat persoalan terkait tertutupnya ruang diskusi dan minimnya sosok panutan yang dapat ditiru pemimpin Manggarai selama ini.
Menurut penulis, latar belakang dari segala keterpurukan pembangunan dan kesenjangan masyarakat yang menjadi perbincangan masyarakat Manggarai selama ini adalah ego sektoral pemimpin Manggarai itu sendiri. Terutama dalam mengakui kelemahan dan keterbukaannya terhadap kemungkinan dia dapat meniru pemimpin daerah lain dalam membangun daerah kekuasannya agar lebih maju.
Jika alasan di balik keengganan pemimpin kita dalam melakukan tukar pikiran dengan pemimpin lain seperti Risma di Surabaya, Azwar Anas di Banyuwangi adalah egonya sebagai seorang dengan pangkat dan jabatan besar, masih ada medium lain yang dapat digunakan untuk meniru kebragakan mereka di wilayah masing-masing. Bisa dari televisi, media daring dan berbagai macam hal lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis menganalogikan pemimpin kita tidak memiliki televisi di rumahnya dan tidak punya cukup biaya untuk memasang wifi untuk dapat berinternet ria menelusuri jejak-jejak pemimpin hebat seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Azwar Anas
Dia adalah pemimpin fenomenal sebuah kabupaten di ujung timur Pula Jawa bernama Banyuwangi. Bupati dengan nama lengkap Abdullah Azwar Anas ini berhasil menjadikan wilayah kekuasaannya seagai rujukan pengelolaan wisata baru di Indonesia setelah berhasil menggarap secara maksimal seluruh unsur utama pariwisata seperti atraksi, aksesibilitas, dan amenitas.
Konsep yang digagas Azwar adalah menjadikan pariwisata dijadikan sebagai payung pembangunan daerah di mana seluruh komponen masyarakat didorong untuk terlibat secara penuh alias tidak sekedar menjadi penonton.
Imbasnya banyak festival di Banyuwangi yang berbasis adat, lahir dari dan muncul dari inisiatif masyarakat. Pemerintah hanya sebagai fasilitator. Maka, jadilah festival spektakuler yang mendatangkan ribuan orang, menggerakkan ekonomi rakyat secara langsung.
Menariknya, proses rombak total kabupaten Banyuwangi dilaksanakan secara kolektif dimulai benar-benar dari nol. Misalnya cara bakar ikan yang baik, pengelola warung dilatih. Pemerintah melatih masyarakat yang buka homestay, bagaimana penataan toilet, bagaimana melipat seprei.
Bahkan ada kursus bahasa asing gratis untuk sekitar 3.000 warga desa tiap tahunnya. Susah memang, tetapi terus digenjot untuk membuat pengembangan pariwisata ini berakar di masyarakat. Dengan konsep partisipasi tersebut, tumpuan pariwisata di Banyuwangi ada di masyarakat desa. Dengan demikian, Banyuwangi intens menggerakkan wisata berbasis desa yang sekaligus menjadi alat pemerataan pembangunan.
Revitalisasi sektor transportasi udara pun tak luput dari perhatian. Pasalnya pengembangan transportasi udara menjadi salah satu kunci mendorong kemajuan daerah. Caranya adalah mendorong Bandara Banyuwangi menjadi bandara internasional. Konsep pembangunan bandaranya pun cukup unik dengan tetap mengedepankan keselarasan dengan lingkungan.
Hasilnya, Bandara Banyuwangi menjadi green airport pertama di Indonesia. Jumlah pergerakan penumpangnya pun semakin positif. Pada 2011, jumlah penumpang baru tercatat 7.826 orang per tahun, lalu melonjak lebih dari 2.300 persen menjadi 188.949 orang pada 2017. Bandara ini dibangun dengan APBD, kalau APBN bisa mencapai Rp300 miliar, dengan APBD cuma Rp75 miliar.
Kemampuan pengembangan pariwisata tersebut menimbulkan multiplier effect. Perkembangan pariwisata akan sejalan dengan pertumbuhan fasilitas pendukung pada konsep pariwisata. Dengan pesatnya pertumbuhan pariwisata, maka kemunculan penginapan dan beberapa fasilitas pendukung lainnya bisa membawa pemasukan bagi pemda setempat.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dimana pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Banyuwangi sebesar 6,01 persen Angka tersebut lebih tinggi dari provinsi Jawa Timur dan nasional. Sehingga target tahun 2018 tercatat sebesar 6,57 persen. Pendapatan per kapita warga melonjak 120 persen menjadi Rp 45 juta per orang per tahun pada 2017 dibanding posisi 2011.
Keberhasilan itu mendapatkan berbagai pengakuan dari internasional. Di tahun 2016, inovasi pengembangan pariwisata Banyuwangi mendapat apreasiasi dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pariwisata (NWTO). Pengargaannya pun sangat bergengsi, yaitu Awards for Excellence and Innovation in Tourism untuk kategori Inovasi Kebijakan Publik dan Tata Kelola.
Terbaru, daerah berjuluk The Sunrise of Java ini menyabet penghargaan tertinggi bidang pariwisata tingkat Asia Tenggara. Tepatnya, ASEAN Tourism Standard Award (ASEAN) 2018 kategori Clean Tourist City, di Chiang Mai, Thailand.
Untuk sektor pertanian, Bupati Banyuwangi menekankan para petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) seluruh Banyuwangi untuk terus berinovasi dalam memberikan nilai lebih dari sektor pertanian. Inovasi bertujuan agar hasil pertanian itu tidak menyusut dan mengancam kelangsungan hidup petani. Inovasi tersebut terdiri dari berbagai macam bentuk. Mulai dari penerapan teknologi tepat guna, pengelolaan hasil panen, hingga kolaborasi dengan konsep pariwisata.
Pemkab Manggarai sudah cukup berhasil dalam pengembangan holtikultura yang diklaim sudah terjual hampir senilai 19 M. Meski masih jauh dari harapan karena anggaran yang digelontorkan untuk pengembangan holtikultura tersebut berkisar antara 20-30 M, namun upaya ini harus terus mendapat perhatian.
Manggarai hari ini menduduki posisi yang sangat strategis karena dekat dengan Manggarai Barat di mana Labuan Bajo ditetapkan sebagai lokasi wisata prioritas pemerintah pusat. Akan ada nilai investasi besar-besaran di Labuan Bajo yang jika tidak ditangkap sebagai sebuah peluang akan membuat Manggarai rugi cukup banyak.
Oleh karena itu, pemimpin yang kita perlukan untuk Manggarai di masa mendatang adalah pemimpin tanpa ego sektoral tingkat tinggi, anti kritik dan bersikap bodo amat terhadap segala peluang yang ada di sekitarnya. Keterbukaan akan beragam inovasi dijamin bakal memajukan Manggarai di masa mendatang. Salam.
Oleh: Andreas Pengki