![]() |
Ilustrasi. Dok. Istimewa |
CERPEN, marjinnews.com - Andai aku bisa undur diri dari rasa ini mungkin sudah kulakukan dari jauh jauh hari , namun semakin kucoba melupakan semakin kuterjebak dalam perasaan yang tak karuan.
Aku
bukanlah seorang pujangga yang pandai merangkai puisi tentang cinta. Bukan
pula sang penyair yang pintar menyusun kalimat puisi romantis. Yang
aku rasa. Hatiku
selalu tertaut padamu ketika aku lelah. Pikiranku
selalu tertuju padamu ketika aku bingung dalam keadaan getir akan perasaan untuk memiliki dirimu seutuhnya.
Mungkin
aku tak mengerti tentang cinta. Hanya
sebait pendek dari kalimat syahdu ini, aku utarakan perasaan cinta. Cinta
sejati yang tulus dan murni untukmu yang saat ini merasuk jiwaku. Aku
mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri.
****
****
Namanya,
Lena. Perempuan pemilik senyum simpul. Parasnya cantik, memiliki kulit sawo matang. Siapa saja laki-laki yang melihatnya pasti akan jatuh hati.
Di pertengahan Januari ini, aku sepertinya terbius oleh sosok ini. Semenjak perjumpaan pertama itu, seakan senyuman yang pernah ia lemparkan kepadaku terus saja terbayangi olehku setiap kali aku mengingatnya.
Di pertengahan Januari ini, aku sepertinya terbius oleh sosok ini. Semenjak perjumpaan pertama itu, seakan senyuman yang pernah ia lemparkan kepadaku terus saja terbayangi olehku setiap kali aku mengingatnya.
“Hai,
dari mana?’’ Tanyaku saat perjumpaan pertama kali dengannya waktu itu.
‘’Oh
ya, nama kamu siapa,’’ lanjutku.
Tangannya
yang begitu halus bagaikan kain sutra itu disodorkan kepadaku, yang saat itu
sedang dug dag, oleh sebuah rasa yang saat itu datang secara tiba-tiba.
‘’Lena
kak,’’ jawabnya singkat, sembari melemparkan senyuman yang membuat hatiku terkelepek-kelepek.
‘’Saya
dari Ruteng Kak,’’ sambungnya.
Saat
itu, bukan hanya kami berdua yang ada. Ada Lendong yang saya perhatikan terus-menerus mencuri
pandang melihat kami berdua. Kemudian ada Oncak, seorang laki-laki yang tak pernah meninggalkan gitarnya
kemanapun ia pergi. Apa lagi lelaki yang satu ini, namanya Wawek. Dia kami
juluki sebagai panglima. Tahu saja, kami biasa mengarang jabatan seseorang. Ya,
itulah kami. Bukan lagi kami namanya jika tidak begitu.
‘’Kaka
dari mana?’ tanya Lena kepadaku.
‘’Saya
dari Borong,’’ jawabku sembari mengusap layar gedged di tanganku.
Riaknya
obrolan saat itu dari teman-teman yang lain membuat perkenalan antara kami berdua tidak terlalu serius. Apalagi
saat itu adalah waktu diskusi yang digelar oleh sebuah perkumpulan mahasiswa. Seriusnya perdebatan, dan saling
melempar argument menjadi seru jalannya diskusi kami di malam itu.
Tak
terasa, waktu sudah menunjukan pukul 22.00 malam. Kami harus menyudahi diskusi ini. Mengingat juga
dengan tetangga sebelah yang ingin beristirahat malam. Takut terganggu, kata
pemandu diskusi, yakni abang Wawek.
Kami
semua balik ke kos masing-masing. Sebelum beranjak pulang, tak lupa diriku
untuk meminta kontak WA-nya Lena. Dia pun memberikannya.
Tiba di kos, sebelum beranjak ke kasur, terlebih dahulu aku melemparkan, ‘’P’’ kepada Lena, sebagai tanda itulah kontak
WA milikku.
Pesan
WhatsApp-ku masuk, namun belum dibaca oleh Lena. Lama saya menunggunya, hampir
sepuluh menit. Pesanku belum juga dibaca. Saya beranggapan mungkin Lena sudah tidur.
Pagi
sekitar jam 8, muncul pesan WA darinya. Ia nampaknya baru membaca WA
dariku yang dikirim
semalam.
‘’Pagi
kaka, maaf baru saya balas. Semalam saya ketiduran,’’ balasnya.
‘’Pagi
juga dik, apa kabar, lagi ngapain sekarang,’’ timpalku, sembari menyeruput kopi
di pagi itu.
Pagi
itu menjadi awal yang tepat untuk aku ungkapkan isi hati yang sesungguhnya
kepada Lena. Saat itu, aku menirukan kembali jargon yang pernah disampaikan
oleh salah satu calon Presiden kita dulu Jusuf Kalla yakni lebih cepat lebik baik.
Sebatang
rokok di tangan menjadi penyemangatku di
pagi itu, ditambah alunan musik yang volumenya hanya dinaikan seperempat.
“Tidak
ada buat kaka,’’ jawab Lena singkat.
‘’Gitu
ya dek,’’ balasku.
Sebelum
ia membalas lagi pesanku, segudang konsep telah tersusun rapi dalam pikiranku. Haruskah diriku secepat ini untuk
mengungapkan isi hatiku kepada Lena? Sempat kuberpikir juga saat itu, wanita secantik
Lena, masa belum punya pacar. Dan apakah diriku harus secepat ini untuk mengutarakan niatku kepadanya, sementara kami baru bertemu
semalam. Ah, tidak. Itu hanyalah sebuah alasan klasik, dan jika memang niat dan
keinginan yang tulus untuk memilikinya kenapa tidak bisa. Lebih cepat lebih
baik. Dan walaupun dia sudah punya pacar, hukumnya sudah ada, sebelum
janur kuning melengkung, dia masih punya orang banyak. Sejenak merenung, semoga
apa yang ada dalam hatiku terwujud.
‘’Tuhan..
semoga saja,’’ bisikku dalam hati.
Sementara
aku masih berkutat dalam permenungan itu, tiba-tiba muncul pesan WA dari Lena.
‘’Kaka,
ngomong-ngomong udah pada minum kopi?’’ Tanya Lena.
‘’Sementara
minum kopi dek. Kalau ade?’’ Balasku.
‘’Lagi
minum juga kak.’’
Sementara
diriku asyik berchatingan dengan Lena di pagi itu, tiba-tiba muncul panggilan
masuk dari seorang rekan. Pagi itu ia ingin mengajakku untuk menghadiri sebuah acara pada jam 10 pagi.
Aku menengok jam di Hand Phoneku sudah menunjukan pukul 09.00 artinya acara tersebut akan dimulai satu jam lagi.
Tanpa menghiraukan HP dan melanjutkan chatinggan dengn Lena, aku langsung bergegas
ke kamar mandi. Lalu mempersiapkan
pakaian dan sebagianya.
***
Di
atas sepeda motor, saya selalu membayangkan,
tentang kemelut di dalam hatiku saat ini yaitu bagaimana cara agar apa yang
kurasakan ini yaitu tentang perasaan
cinta kepada Lena cepat tersampaikan. Rasaku untuk memilikinyaa begitu kuat.
Dan tak pernah
sedikitpun berubah, bahkan hilang. Hasutan perasaan terus berbisik. Apa akan harus terus begini?
“Silahkan masuk Pimpinan” rekanku mempersilahkan aku
masuk. Namanya Alfred.
“Jangan panggil aku pimpinan, lah,” ucapku sembari
tertawa.
“Hahahhaa. Kan om Jeri pimpinan besar, pantas toh jika
dipanggil pimpinan” timpalnya sambil ketawa juga. Kami tertawa bersama.
Alfred adalah lelaki paruh usia. Pekerjaannya sama
sepertiku. Menjadi budak-budak kabar terbaru. Ya, kami adalah jurnalis, pemburu
segala macam masalah. Kurang lebih seperti itulah orang menilai kami.
Pekerjaan sebagai wartawan membuat aku banyak membuang
waktu dengan Handponeku, sehingga kadang aku tidak menghiraukan orang-orang
di sekelilingku.
“Hai, kaka. Ikut kesini juga tadi kah?” Seorang wanita
menyapaku dengan suara khas.
Suaranya tidak asing lagi bagiku. Aku menoleh ke
sumber suara. Dan ternyata itu Lena. Wanita yang terus menjadi tuan atas rasa
cintaku.
“Iii. Iya, dek,” jawabku gerogi.
“Kenapa adek, bisa ada di sini? Aku balik bertanya.
“Aduh kaka, kami panitia acara ini,'' jawab wanita berparas ayu itu dengan polos.
Mungkin ini yang namanya kebetulan yang telah
direncanakan waktu. Dan aku yakin ini aku dan Lena pasti akan mendapat restu dari
waktu.
Singkat cerita acara itu pun usai. Kami semua bubar. Tidak
terkecuali Lena.
“Dek. Ayo pulang bareng kaka,” ajakku.
“Apa tidak merepotkan?”
“Tidak apa-apa. Ayo cepat naik.”
Hari itu hujan turun dengan lebat. Aku tidak membawa
jas hujan. Aku mengajak Lena untuk berhenti, tetapi dia menolak. Kami akhirnya
melanjutkan perjalanan. Aku katakan, kawan berjalan dengan seorang wanita di
bawa deras hujan adalah seesuatu yang sangat asyik sekali.
Jadi begini, saat itu Lena kedinginan. Tangannya sudah
mulai bergerak dan menggapai pinggangku. Dia lalu merangkulku. Ya, dia memeluk
aku layaknya seorang wanita yang memeluk kekasihnya. Kami betul-betul seperti
sepasang kekasih waktu itu.
Di sebuah jembatan, tiba-tiba Lena meminta untuk
menepi. Katanya dia ingin melihat derasnya aliran sungai ketika sedang hujan. Aku
tidak keberatan. Kupinggirkan sepeda motor ke trotoar.
“Kenapa memilih berhenti? Inikan masih hujan?” Tanyaku
pura-pura.
“Aku menyukai hujan. Hujan membantuku melepas segala
penat yang sudah lama menggumpal dalam kepalaku,” jawabnya sembari menengadah ke
langit. Dia seperti sedang mencari tahu dari mana datangnya butiran hujan itu.
“Hmmmm. Aku baru tahu, ternyata ada malaikat yang
menyukai hujan,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya.
“Kaka mulai gombal, rupanya.”
“Bukan gombal. Tatapi begitu adanya. Adek sepeti
malaikat. Cantik dan memesona. Tapi sayang sudah ada yang punya.”
“Maksud kaka?” Dia bertanya kepadaku.
“Maksud aku, ya adek cantik, tetapi sayangnya sudah
ada pacar,” ucapku.
“Aku belum punya pacar kok kaka,” jawabnya tenang.
“Kalau begitu, ada yang ingin akau sampaikan, dek,” lanjutku terus terang.
“Perihal apa? Kaka mau minta aku jadi pacarnya kaka?”
jawabnya sambil tersenyum genit. Dia sepertinya sudah menyadari gerak-gerikku. Dia
sepertinya sudah tahu tentang perasaanku kepadanya. Aku tidak berani
menjawanya.
“Sudahlah kaka. Aku bahkan sudah menganggap kaka
sebagai pacar kaka, semenjak kaka meminta nomor WA-ku,” ucapnya serius sambil
menatap ke dalam retina mataku.
Aku senang sekali. Bahkan tidak bisa
menggambarkan bagaimana berbunga-bunganya hatiku saat itu. Aku seperti seorang
Sarjana muda yang baru saja mendapat kabar lulus tes CPNS.
“Berarti kaka bisa peluk adek sekarang kah. Hhahahhha?
“Jangan sekarang. Nanti saja. Setelah kaka membawa
belis untuk ibu dan bapakku,” jawabnya sambil ketawa.
Kami akhirnya ketawa bersama. Merayakan kesenangan yang baru saja kami ramu
dalam sebuah ikatan yang sangat aku nantikan. Mendapatkan wanita yang kita
inginkan adalah sesuatu yang sangat luar biasa sekali. Aku kemudian memeluknya.
Mencium keningnya dengan lembut.
Tanpa mempedulikan lagi ucapannya tadi. Bukankah
belis itu sesuatu yang bisa dibicarakan belakangan? Yang terpenting sekarang
adalah cinta yang ada di antara dua belah pihak benar-benar menyatu.
Penulis adalah Pecinta Kopi Manggarai
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh dan tempat itu hanyalah kebetulan.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh dan tempat itu hanyalah kebetulan.